Ketika Catatan Harian Seorang Misionaris tentang Hidup dan Karyanya di antara Suku Dayak Jadi Buku Wajib Para Calon Doktor
Naskah buku ini, dari urusan menerjemahkan, mengetik manual dengan mesin ketik, dikerjakan oleh J. Soediarja.
Akan tetapi, memindahkannya ke dalam data komputer (digital), mengedit, hingga urusan penerbitannya di Grasindo dilakukan Masri Sareb yang diminta "kakek" Herman dan Provinsial Ordo Kapusin.
Satu tahun persiapan merampungkan naskah mentahnya. Hasil ketikan dengan mesin tik manual terjemahan oleh Soediarja, diketik kembali di PC pastoran Tebet, berkat bantuan pater Pennock OFM Cap dan Herman Ahie OFM Cap. Setiap pulang kerja kantor, dari Palmerah, saya ngetik naskah ini. Juga hari Sabtu dan Minggu. Suatu pekerjaan yang sungguh menyita waktu, tenaga, dan perhatian. Namun, begitu terbit, bahagia tak terkira.
Prof. Jim Collins menjadikan buku ini pustaka wajib bagi calon Doktor yang studi di University Kebangsaan, Malaysia sebagai dokumen yang mencerminkan realitas sosial masyarakat Dayak Kalbar prakemerdekaan (1938) hingga masa kemerdekaan RI, 1974
"In optima forma!" begitu Herman Josef memberi apresiasi dari Tilburg, Negeri Belanda. Suatu tempat, rumah tinggal para misionaris Ordo Kapusin yang pernah berkarya di Borneo. Di sanalah mereka menjalani hari-tua. Sembari nostalgia. Mengenang kembali masa-masa pertama Misi berkarya, menabur benih iman Katolik di Borneo.
Tak syak lagi. Buku ini seperti gambar. Yang memotret bukan saja wajah Dayak, Gereja, dan kondisi Borneo di masa lampau. Juga merupakan pancaran jiwa. Lumen cordis. Sebab, buku yang ditulis dari kedalaman dan sepenuh hati, akan terasa guncangan, nadinya yang bedenyut tiada henti. Layaknya buku ini pula.
Puji Tuhan! Memasuki usia 85 tahun, sebelum menghadap "Api Biru", Herman masih memegang, membaca, serta bangga akan buku ini. Kawan-kawannya sesama misionaris di Indonesia; tak ada yang tidak suka meyambut terbitnya.
Hak ahli warisnya ada pada Masri. Kini dalam proses cetak-baru. Segera terbit. Hasil revisi dan cetakan ke-2 oleh Lembaga Literasi Dayak. Telah ada ISBN-nya dari Perpustakaan Nasional.
Ini adalah edisi up-date, buka revisi. Mengapa? Sebab tidak ada konten yang "salah", sehingga harus diperbaiiki. Hanya penyesuaian saja. Dengan berbagai pembaruan. Misalnya, pada waktu buku terbit (1992) belum ada kesepakatan menulis etnis penghuni asli Borneo dengan "Dayak". Jadi, masih banyak versi penulisannya. Versi bahasa Belanda lazim menulis "Daya", tanpa huruf "k" di ujung nama suku asli Borneo.
Buku ini saya ahli warisnya, dari kakek Herman. Saya memberi Kata Pengantar buku ini (1992). Edisi kedua nanti, diterbitkan oleh Lembaga Literasi Dayak. Diketik ulang dalam format MS-Words, dari buku aslinya, oleh Paran Sakiu dan Matius Mardani. Masri Sareb tetap sebagai editor dan Penerbit.
Arsip edisi pertama hanya 5 eksemplar. Jika mata Anda jeli melihat sebuah yang tersebunyi, semuanya dalam kondisi baik.
Oleh Prof. Jim Collins, menjadi pustaka wajib bagi calon Doktor yang studi di University Kebangsaan, Malaysia sebagai dokumen yang mencerminkan realitas sosial masyarakat Dayak Kalbar prakemerdekaan (1938) hingga masa kemerdekaan RI, 1974. Beberapa mahasiswa beliau, yang telah lulus maupun masih, memberikan testimoni ihwal kedudukan buku ini --sebagai sumber primer sejarah Dayak dan Kekatolikan di masa lampau. Utamanya jelang (pra) dan tahun-tahun pertama kemerdekaaan Republik Indonesia.
Terjemahan asli buku Mijn Leven met de Daya's, 2 jilid (1983), Terjemahan oleh: A. Soedirja. Editor: R. Masri Sareb Putra. Sekaligus memberikan Catatan Pendahuluan, cukup lebar panjang di halaman xi - xviii di bawah judul "Lukisan yang Hidup tentang 'Si Kecil': Memahami Catatan Seorang Misionaris".
Tolle et lege!